Kota Tenggelam


dulu ada kota dihidupkan oleh orang-orang dari daratan rendah. sengaja mereka mirip-miripkan seperti tanah eropa : benteng, pelabuhan besar, serta loji-loji. mereka pernah berpesta, cuci tangan sebelum makan, buah-sayur sudah dicuci dengan benar, lalu dijemput ajal di pagi hari.

dulu ada kota sekejap disulap jadi ruang tamu besar. semua serba pernik : monumen, lapangan bola, kamar-kamar bertingkat, serta jejalan baru yang membelah kamar tidur orang-orang udik.

dulu ada kota dikuasai polusi, banjir, dan tikus-tikus selokan. banyak orang mati di jalanan, ada rumah-rumah dirobohkan, tanah-tanah dikaplingi buat orang serakah. di kota ini terjadi jual-beli jabatan. minimal jabatan bisa ditukar dengan sewa kamar birahi. kota ini ada segala kebusukan dan kebohongan.

seorang cucu menantang "aku mau kesana!" neneknya menjawab "kota itu sudah tidak ada. kayaknya bubar atau tenggelam."

-purwodadi, 17 januari 2014-

Mengkhayal Rumah


Siang yang temaram, aku berkhayal tentang rumah di masa depan.

Selapang tapak surgawi : bergelombang hijau, dipagari anak sungai, jalan bebatuan, rerumah tak berjeda lama, serta terbentur lanskap pegunungan. Mungkin di Munich, Rio de Janiero, Busan, atau Ungaran.

Aku dirikan rumah cukup dua lantai. Dengan struktur yang unik, barangkali. Ada ruang melayang di tengah rumah, kalau perlu sekalian ruang menjorok hingga dua puluhan meter. Meski sebenarnya aku begitu buruk dalam pelajaran struktur, baiknya aku butuh bantuan ahli struktur.

Tapak tak boleh habis, harus ada taman. Terbayang, bagaimana mata ini dimanjakan dengan rerumputan disiram batuan koral berwarna putih. Suara arus sungai yang berbenturan dengan bongkahan batu. Tajuk-tajuk pohon yang memberikan keteduhan lalu bayangan jatuh tepat di teras belakang rumah. Lampu-lampu yang berdiri tegak tertanam memberikan kehangatan di malam hari. Seolah ada sebuah ruang yang terbentuk, dan kami hidup!

Luas lantai satu harus lebih kecil daripada lantai dua. Jadi, rumahku tampak menggantung. Lantai satu berisi ruang tamu, kamar-kamar tidur, dan dapur. Lantai dua dominan ruang keluarga. Sangat menyenangkan punya ruang keluarga berdimensi besar. Akan ada banyak canda-tawa : aku dengan anak-anakku, kakek-nenek dengan cucu-cucunya. Akan ada pula banyak rayuan gombal dari aku untuk istriku. Akan lebih sering istriku main lirikan mata mengajak bercinta. Indah, bukan?

Tambahan pula ruang santai yang harus aku isi dengan koleksi buku. Tentu tak sekedar baca buku, bisa juga buat jamu tamu yang mau berdiskusi tentang apa saja. Mungkin tamu itu teman kecil, teman kuliah, teman kantor, bahkan teman tapi (pernah) mesra. Ah, semoga saja istriku tak tahu.

Momen indah saat senggang atau akhir pekan tentu ketika membaca Hujan Bulan Juni milik Sapardi. Ditemani secangkir susu jahe, jendela-jendela yang basah, ruang luar yang dingin, makin menambah kehangatan membaca kumpulan puisi itu.

Tak lama istriku datang menuju ruang santai. Dia cantik sekali dan aku putuskan menyudahi Hujan Bulan Juni.

Dan, kami bercinta (lagi). Cukup di ruang santai ini!

Tiba-tiba khayalanku pecah. Mampir seorang wanita lalu bertanya, "Kapan skripsi?"
Ah, skripsi. Engkau senasib calon istri. Di semester depan belum juga halal.

(Jogja, 20 Desember 2014)

Kesetiaan Pohon


Pohon itu setia menjaga dedaun yang menua,
beradu mulut dengan angin
bersitegang hujan dan petir,
sesudahnya dilerai cahaya-cahaya.

Pohon itu bergantung hidup
pada percakapan tak mengenal lembar akhir
bersama dedaun itu tiap hari,
diulang-ulang kenangan
sebelum tegap pohon itu membungkuk.

Sleman, 16 Oktober 2014

Setumpuk Undangan Ketika Pulang


Undangan selalu menarik perhatian ketika aku pulang. Kebanyakan undangan pernikahan, sesekali undangan sunatan. Tak jarang jumlahnya setumpuk setinggi laptop.

Aku agak kritis menilai visual undangan. Mulai tampilan muka, tipografi, warna, jenis kertas, denah lokasi, hingga nama tukang sablon dan lain sebagainya. Orientasinya ada yang potrait maupun landscape. Ada yang dikasih pita, ada semodel masuk ke dalam amplop. Keseringan model sekali buka, atau beberapa kali buka lembar, mirip daftar menu makanan restoran.


Kadang heran aku dengan tukang sablon yang memproduksi undangan. Heran karena seringkali pemilihan font susah terbaca dan tak tepat karakter. Bayangkan gelar akademik sarjana hukum yang disandang salah satu pasangan, ditulis dengan font berkaki yang terlalu berkaki-kaki. Sangat tidak elegan!

Terus, aku bertanya-tanya. Adakah mata kuliah Sejarah Visual Undangan di jurusan Desain Komunikasi Visual? Bila ada, tolonglah dosen yang mengampu mata kuliah tersebut membina tukang sablon undangan. Biar bisa bikin undangan yang berkarakter dan elegan. Jadi, kalau dapat pesanan undangan dari salah satu bintang film Annabelle bisa pakai Chiller font. Menyeramkan tapi berkarakter, bukan?

Sekalian dekonstruksi konsep visual undangan yang melulu menampilkan simplifikasi bebungaan. Sesekali bolehlah menampilkan penyerdehanaan onderdil mobil, perkakas rumah tangga, atau alat-alat perang.

Tak beruntungnya, sampai sekarang aku belum mendapati undangan yang mengundang teruntuk namaku. Paling-paling juga untuk bapak atau ibuku. Apa iya teman-teman sekolahku lupa? Apa iya jangan-jangan tak tahu alamat? Atau memang belum ada yang menikah? Ah, aku tak percaya. Undanglah aku kawan. Biar aku terlatih dalam berdandan.

Bahkan, aku memimpikan ada resepsi undangan di luar negeri. Tak melulu di dalam kota yang melulu di gelanggang olahraga. Undangan sekaligus tiket pesawat buat sekeluarga. Bubar resepsi kami sekeluarga bisa jalan-jalan.

Mubazir juga sudah punya paspor, tapi aku baru sekali ke luar negeri.

Bagi yang menempuh hidup baru, aku ucapkan selamat. Rancanglah surga senyaman kalian. Kelak ketika rumah kalian diketuk cobaan, ingatlah undangan yang dulu tersebar. Kenanglah teman-temanmu yang masih berstatus mahasiswa. Mereka yang dengan lahap menyantap katering resepsi, lalu mendoakan demi keabadian janji suci kalian.

Mungkin seperti yang lain, aku pun akan prihatin. Ketika aku pulang melihat undangan untuk kali kedua atas nama salah satu pasangan.

Lekas kalian mulai malam yang indah.

(Purwodadi, 11 Oktober 2014)

Wanita yang Turun di Pertigaan Pabrik Gula


Dalam Bis Jogja-Solo aku duduk di jok yang berjumlah dua, entah di baris ke berapa. Tiga baris depanku di jok berjumlah tiga, duduk dengan lembut wanita berkaos kuning. Rambutnya kuncir kuda, ujung-ujungnya coklat. Dia duduk memeluk tas biru. Kaosnya dimasukkan, dikencangkan dengan sabuk yang melingkari celana jeans-nya. Rapi.

Seperti itu pula aku berpenampilan. Kaos aku masukkan, tak lupa aku melingkarkan sabuk pada celana. Tak jarang aku tampil seperti ini sampai komentar turut terlontar dari orang-orang. Mungkin penampilan seperti itu terlihat konyol atau culun. Tapi, aku pikir itu mendidik untuk berani tampil beda. Intinya, aku dan dia tidak janji untuk janji berpenampilan serupa.

Mungkin masih bisa disebut beruntung saat mataku mengendus wajahnya, walau cuma tiga per empat bagian, walau hanya sekali. Seterusnya selama perjalanan tatapannya hanya ke depan.

Mempesona.

Dalam bis selalu ada yang mengasong suara. Bisa tua, muda, pria, wanita, bahkan yang punya kelamin keduanya.

Wanita itu begitu derma. Dua kali pengasong suara yang memainkan kencrung, diberinya uang kertas. Sementara aku cuma uang logam. Sempat aku ragu, wanita seperti dia tak kan rela membagi uang. Siapa bapak dan ibunya?

Lampu merah di pertigaan dekat pabrik gula terpaksa menghentikan semua laju kendaraan. Terpaksa pula aku dicela perpisahan. Wanita itu bergegas menenteng tas kresek ungu, menurunkan kakinya mencium aspal. Perpisahan aku dan dia berjarak kaca dan bahu jalan. Lampu hijau aku nilai kecam. Aku terpaksa menyeret mataku yang tak lelah membuntutinya, yang mungkin menuju istirahat siangnya. Roda-roda mau tak mau harus membawaku menuju Tirtonardi.

Dalam imajinasi yang paling gila, bila wanita itu membaca sepasukan kata ini, aku ingin bertemu di depan toko bakpia di Jalan Solo, Maguwo. Cukup lima belas menit berdiri menunggu bis. Mungkin sembari menunggu kami berbicara tentang apa saja, kecuali keributan politik yang diributkan orang-orang yang tak paham politik di media sosial. Lalu tangan kami melambai menghentikan bis lalu masuk lewat pintu belakang. Terserah di baris berapa kami duduk, yang jelas harus jok berjumlah dua. Entah berapa lama pengasong suara datang ketika kami asik bertutur kisah, pastinya kami telah bertukar uang. Aku kertas, dia logam. Berlaku untuk pengasong suara selanjutnya, sebelum dia turun di pertigaan pabrik gula, lalu aku melaju menuju Tirtonardi menerus ke Purwodadi.

Mungkin wanita itu melambaikan tangan.

(Purwodadi, 9 Oktober 2014)

Ketukan Maut


Rindumu telah diketuk maut
berkali ulang tanpa izin waktu
mirip
              lancang
                                tetamu.

Rindumu tak sungkan membungkam sungkan
penghormatan bagi maut yang menyeruput kopimu.
Maut menatap rindumu yang tak berpintu
ladang-ladang kering adalah ancaman.

Maut bergelantung di pekat awan
sebelum layu sebenarnya maut,
maut
              menghujani
                                rindumu.

Sleman, 6 Oktober 2014

Gelegar Suar


Suar malah menggelegar tak lagi sanggup berpendar
sepanjang hari tanpa malam yang sengaja tak diizinkan.

Gelegar suar adalah sepi,
lamat-lamat mendekati hampa

engkau adalah suar yang tak pernah dipeluk mercu berpesta malam
dengan sauh dan bebintang.

Sleman, 6 Oktober 2014